Investasi dalam properti, khususnya rumah, bisa menjadi pilihan yang menarik untuk mendapatkan keuntungan finansial jangka panjang. Namun, penting untuk melakukan riset yang teliti sebelum memutuskan untuk membeli properti.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai status tanah. Pastikan bahwa tanah tersebut telah memiliki status yang jelas dan sah, serta tidak ada masalah hukum yang terkait dengan kepemilikan atau hak atas tanah tersebut. Periksa juga apakah tanah tersebut telah bersertifikat dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di wilayah tersebut.
Di Indonesia, terdapat dua bentuk kepemilikan properti yang umum dikenal, yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Kedua status ini memiliki perbedaan dalam hal hak dan kewajiban pemiliknya, serta implikasi yang berbeda dalam pengelolaan dan pemanfaatan properti. Berikut merupakan penjelasan lebih detail mengenai perbedaan SHM dan SHGB.
Sertifikat Hak Milik (SHM)
Pemilik dengan SHM memiliki hak penuh atas tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Mereka memiliki hak untuk menggunakan, menguasai, dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai keinginan mereka. Pemilik SHM juga memiliki hak untuk menjual, menghibahkan, atau memberikan hak waris tanah dan bangunan tersebut. Hak milik atas tanah dan bangunan yang dimiliki dengan SHM bersifat abadi dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Sehingga, pemilik SHM tidak perlu khawatir tentang masa berlaku kepemilikan tanah mereka, selama mereka memenuhi kewajiban perpajakan dan administratif lainnya.
Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)
Pemilik dengan SHGB, hanya memiliki hak pakai terbatas atas tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Mereka memiliki hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam sertifikat. Namun, kepemilikan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut bisa menjadi milik pemegang sertifikat HGB atau pihak lain, tergantung pada perjanjian yang dibuat. Hak pemakaian tanah dengan HGB memiliki batas waktu tertentu, biasanya antara 20 hingga 30 tahun, tergantung pada peraturan daerah dan perjanjian antara pemegang sertifikat dengan pemilik tanah. Setelah berakhirnya masa berlaku, sertifikat HGB dapat diperpanjang atau tanah tersebut bisa dikembalikan kepada pemilik aset.
Dilihat dari kedua perbedaan ini, tentunya Sertifikat Hak Milik memiliki kekuatan legalitas yang paling tinggi dibandingkan dengan Sertifikat Hak Guna Bangun, tidak bisa diakui oleh pihak lain, tetapi bisa dipindahtangankan dalam proses jual beli rumah. Grand Cendana Residence sendiri bersertifikat SHM, sehingga calon pembeli tidak perlu merasa was – was akan legalitas rumah yang akan dibeli pada kawasan ini.